Jumat, 27 Juli 2018

Pers Era orde baru digambarkan sebagai “Mahkota Berkarat”

Dari masa keterpurukan di era Orde Lama dengan sistem Demokrasi Terpimpin rezim Soekarno, Orde Baru diharapkan masyarakat dari berbagai elemen membawa perubahan yang lebih baik. Sayangnya, ternyata hampir nihil yang namanya kebebasan pers.

Memang pada awalnya masa Orde Baru jadi zaman pemulihan kondisi. Kondisi pasca-Orde Lama dan chaos akibat Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).

Soeharto yang mengambil alih peran strategis pemerintahan mulai mengendalikan media massa dengan mengeluarkan berbagai undang-undang dan ketentuan. Hal ini ditandai dengan ditutupnya 46 surat kabar pada 1 oktober 1965.

Pada Undang-undang tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers No.11 tahun 1966 berisi tentang kebebasan pers yang menjanjikan kerana pers dijamin sebagai hak-hak dasar warga negara, dan penerbitan tidak memerlukan surat izin apapu, TETAPI pada kenyataanya  setiap penerbitan surat kabar harus memiliki Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC), tanpa kedua izin tersebut, surat kabar tidak dapat dicetak.

Di era ini, masyarakat Indonesia di iming-imingi kebebasan dalam menyampaikan berbagai pendapatnya mengenai kepemimpinan Soeharto. Namun ternyata, apa yang di janjikan oleh pemerintahan orde baru tersebut hanyalah bualan belaka. Pers sebagai ujung tombak lidah masyarakat dibungkam dengan berbagai tekanan. Pers sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengkritik dan membuat berita-berita negatif mengenai kepemimpinan saat itu. Bahkan jika ada yang membangkang, tidak segan-segan pemerintah akan mencabut izin penerbitannya.

Itu artinya di masa orde baru ini merupakan fakta nyata jika pers di Indonesia pernah di bungkam oleh pemerintah. Pers benar-benar di kontrol oleh pemerintah. Bahkan tidak tanggung-tanggung, pemerintah membuat sebuah departemen khusus pengontrolan pers dengan nama Departemen Penerangan, dengan adanya departemen ini pers diwajibkan untuk membuat berita-berita positif tentang pemerintah orde baru. Jika tidak, maka bisa dipastikan media tersebut akan ditutup (dibrendel).

Kondisi pers pada awal orde baru memang Bebas namum bertanggung jawab dalam artian pers bebas membertiakan apa saja namung bayang-bayang brendel masih mengintai. Jurnalis pun bertanya “Bebas melakukan apa? Bertanggung jawab pada siapa”. Kebijakan Soeharto terhadap pers di awal periode ini bisa dianggap sangat bebas, mirip dengan masa liberal. Di era ini pers bebas mengkritik pemerintahan orde baru, terutama masalah korupsi.

PEMBREDELAN SEMAKIN AKTIF SETELAH KEJADIAN “MALARI”

Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya.

Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut terhadap kebebasan pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh, sejauh keuntungan ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejak pertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan era pers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikan keuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik. Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers Indonesia—didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar