Pengiriman dan penyebaran informasi dalam bentuk jurnal awalnya digunakan oleh VOC untuk menyalurkan dan atau mendapat berita, baik dari Eropa maupun dari pos-pos perdagangan Belanda yang tersebar di Nusantara yang menurut Von Veber telah berlangsung sejak tahun 1615.Hal ini dipertegas oleh Muhtar Lubis dengan mengatakan bahwa pada tahun 1615, J.P. Coen menerbitkan Memorie de Nouvelles, sebuah jurnal cetak yang pertama di Indonesia, memuat berita dan informasi tentang VOC.
Sementara surat kabar pertama yang terbit di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles tahun 1744 oleh J.E. Jordens.Perancis dan Inggris yang pernah menyelingi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, turut pula menerbitkan surat kabar
Perancis di bawah Daendels menerbitkan Bataviasche Zoloniale Courant. Sementara pada masa kekuasaan Inggris menerbitkan surat kabar dengan nama The Java Government Gazette.
Setelah kekuasaan Inggris berakhir (1816) di Indonesia, maka surat kabar yang terbit menjadi organ resmi pemerintah Belanda adalah Bataviasche Courant yang kemudian digantikan olehJavasche Courant.Sampai dengan terbitnya surat kabar ini ada kenampakan bahwa usaha penerbitan masih didominasi oleh pemerintah yang berkuasa. Isinya pun dapat diduga, yaitu hanya memuat berita mengenai kegiatan pemerintah.
Memasuki pertengahan abad ke-19, sudah semakin banyak surat kabar terbit di Indonesia. Bahkan kaum Indo-Belanda sudah mengusahakan penerbitan yang diperuntukkan buat kaum pribumi dan peranakan Tionghoa. Sehingga pada masyarakat kolonial sudah dikenal adanya pers yang berbahasa Melayu dan bahasa daerah.
- Surat kabar pertama berbahasa daerah adalah Bromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1855.
- dilanjutnya surat kabar pertama berbahasa Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe yang terbit di Surabaya pada tahun 1856.
Di samping itu, dikenal pula surat kabar yang berbahasa Tionghoa yang menggunakan bahasa campuran antara bahasa Melayu rendahan dengan dialek Hokkian.Seiring dengan pemberlakuan politik kolonial liberal atau dikenal sebagai politik pintu terbuka (open door policy) tahun 1970, maka dinamika persuratkabaran di Indonesia juga semakin kompleks. Kaum swasta asing Eropa (pengusaha-pengusaha penanam modal di Indonesia) semakin banyak menerbitkan surat kabar. Dalam dekade ini pula (menjelang berakhirnya abad ke-19), terdapat kemajuan di bidang jurnalistik. Kemajuan yang dimaksud adalah semakin banyaknya orang-orang pribumi dan orang-orang peranakan Tionghoa yang terlibat dalam penerbitan pers. Dengan demikian sudah lahir wartawan-wartawan pribumi (Indonesia) yang pertama. Kedudukan orang-orang ini kelak menjadi sangat penting terhadap kelahiran pers nasional.
Ciri-ciri pers pada masa kolonial
- Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
- Kontrol yang Keras Terhadap Pers
- Penekanan Terhadap Pers Indonesia
- Bersifat fasis memanfaatkan instrumen untuk menegakan kekusaan pemerintahannya
ERA Revolusi (1945-1949)
Reiode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
- Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda), antara lain: Warta Indonesia di Jakarta, Persatuan di Bandung, Sulung Rakya di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, dan Mustika di Medan
- Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik. yang muncul pada masa itu, antara lain: harian Merdeka, Sumber, Pemandangan, Kedaulatan Rakyat, Nasional dan Pedoman.
Pada masa revolusi fisik inilah Persatuan Wartawan Indonesia (PMI) dan Serikat Pengusaha Surat Kabar (SPS) lahir. Kedua organisasi ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pers Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia untuk pertama kali mengeluarkan peraturan yang membatasi kemerdekaan pers pada tahun 1948. Menurut Smith, “dalam kegembiraan kemerdekaan ini, pers dan pemerintahan bekerja bergandeng tangan erat sekali dalam seratus hari pertama masa merdeka itu”.
Pemerintahan memerlihatkan itikad baik terhadap pers dan berusaha membantunya dengan mengimpor dan mensubsidi kertas koran dan dengan memberikan pinjaman uang. Pada awalnya semua berjalan lancar, namun saat pers mulia bertindak dengan menyerang pemerintahan dan tokoh-tokoh masyarakat sampai pada presiden sendiri, tampaknya pemerintah yang baru ketika itu belum dapat menerima kritikan yang pedas.
Sesuai dengan fungsi, naluri, tradisinya, pers harus menjadi penjaga kepentingan publik. Pers telah menyampaikan pesan-pesan yang diperlukan oleh yang terlampau berat, sehingga pemerintah mulai memukul balik pers. Konflik keduanya berkembang menjadi pertentangan permanen dan pers dipaksa tunduk di bawah kekuasaan pemerintah.
Untuk menangani masalah-masalah pers, pemerintahan membentuk Dewan Pers pada tanggal 17 Maret 1950. Dewan pers tersebut terdiri dari orang-orang persuratkabaran. cendikiawan, dan pejabat-pejabat pemerintahan, dengan tugas:
- Penggantian undang-undang pers kolonial,
- Pemberian dasar sosial-ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia (artinya fasilitas-fasilitas kredit dan mungkin juga bentuan pemerintahan)
- Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia,
- Pengaturan yang memadai tantang kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan Indonesia (artinya, tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum, etika jurnalistik, dan lain-lain).
Ciri-ciri pers pada masa revolusi
- Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik
- Harus Menjaga Kepentingan Publik
- Pembatasan Pers
ERA DEMOKRASI LIBERAL (1949 – 1959)
Masa Demokrasi Liberal adalah masa di antara tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu Indonesia menganut system parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan pers. Pers nasional pada umumnya mewakili aliran politik yang saling berbeda. Fungsi pers dalam masa pergerakan dan revolusi berubah menjadi pers sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.
Awal pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi terhadap pers nasional. Demokrasi liberal berakhir ketika Orde Lama dimulai. Era demokrasi liberal adalah sejak Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden 1959.
Tindakan pembatasan pers terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan, Ruslan Abdulgani, antara lain….”khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dilakukan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing….”
Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.
Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.
Ciri-Ciiri pers masa demokrasi liberal
- Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak
- Pembatasan Terhadap Pers
- Adanya Tindakan Antipers
ERA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1966)
Masa demokrasi terpimpin, partai politik maupun organisasi politik tidak bisa lepas dari pers. Partai politik telah menggunakan pers dalam mendukung maupun menjadi oposisi dari pemerintahan yang berkuasa. Sistem kekuasaan masa demokrasi terpimpin juga mempengaruhi fungsi pers, yang lebih banyak bersifat sebagai corong kekuasaan pemerintah yang berkuasa, sehingga fungsi pers sebagai kontrol sosial tidak nampak bahkan hilang.
Pers memiliki hubungan yang sangat erat dengan organisasi politik maupun partai politik dari pertamakalinya pers dikelola oleh para jurnalis Indonesia. Hubungan ini berkaitan dengan fungsi pers sebagai penyebar informasi dan alat propaganda yang efektif bagi partai politik dalam mengkampanyekan program serta tujuan partai tersebut. Masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin pers sangat berperan bagi kelangsungan kampanye partai politik, hampir setiap partai politik memiliki surat kabar baik yang terbit harian maupun mingguan serta bulanan. Surat kabar ini dikelola sama baiknya dengan surat kabar umum yang tidak berafiliasi dengan partai politik dan bahkan menjadi alat pemasukan dana bagi partai politik. Partai-partai politik yang memiliki surat kabar seperti PKI, Masyumi, PNI, NU dan lain sebagainya sangat gencar melakukan kampanye melalui media massa.
Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin
- Tidak Adanya Kebebasan Pers
- Adanya Ketegasan Terhadap Pers
- Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers
ERA ORDE BARU (1966 - 21 Mei 1998)
Pada masa kepemimpinan Orde Baru, kebebasan pers sangatlah terbatas. Tak terhitung banyaknya organisasi pers yang mengalami pembredelan karena terlalu keras dalam mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Hal ini terjadi karena pada masa Orde Baru, stabilitas politik nasional sangatlah penting guna mendukung lancarnya proses pembangunan nasional yang telah dirumuskan dan ditetapkan dalam GBHN.
Dapat dikatakan bahwa pers pada masa Orde Baru merupakan lembaga sosial dan bukan lembaga pemerintah atau sebagai corong pemerintah. Hal ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang menyatakan bahwa : “Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat konstruktif. Dalam definisi tersebut terlihat pula bahwa pers di Indonesia juga harus memiliki idealisme yang ditunjukkan dengan pernyataan bahwa pers Indonesia merupakan alat perjuangan nasional, bukan sekedar menjual berita untuk mencari keuntungan finansial
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pemerintah Orde Baru memastikan bahwa semua media komunikasi, termasuk pers menjadi pro pemerintah, karena menganggap kebebasan pers tanpa kontrol pemerintah dapat menyebabkan gangguan stabilitas negara, kemananan dan kepentingan umum sehingga harus terus menerus dikontrol secara ketat. Sehingga dapat dikatakan selama Orde Baru, pers di Indonesia terus menerus menerima sikap represif pemerintah. Akibat kontrol pemerintah yang bersifat represif dalam pers, pada masa ini tidak ada pers yang bersikap independen dan berani mengkritisi pemerintah. Jika ada pers yang berani mengkritisai pemerintah atau menentang kebijakan pemerintah, maka konsekuensi yang didapatkan mulai dari pemberhentian pasokan kertas koran hingga penghilangan nyawa wartawan.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang anti rezim Soeharto.
Ciri-ciri pers pada masa orde baru
- Kebebasan Terhadap Pers
- Pers Masa itu Sangat Buram
- Berkembangnya Dunia Pers
ERA REFORMASI (21 Mei 1998-sekarang)
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu.
Ketika era reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi. Berbagai kendala yang membuat pers nasional "terpasung", dilepaskan. SIUUP (surat izin usaha penerbitan pers) yang berlaku di Era Orde baru tidak diperlukan lagi, siapa pun dan kapan pun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit. Dan juga Undang-undang No. 40 tahun 1999 plus Kode Etik Jurnalistik (KEJ), memberi kebebasan seluasnya-luasnya kepada para penulis untuk berkreasi melalui coretan pena wartawan, meskipun kritis, tapi tetap dalam koridor hukum dan kode etik yang telah ada. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer. Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan.
Kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa, khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa. Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).
Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan publik terhadap pemimpinnya dapat terwujud.
FENOMENA PERS YANG TERJADI SAAT INI
Pers Semakin Bebas tapi Semakin Tidak Jelas
Suasana kehidupan pers di Indonesia saat ini dinilai semakin bebas, namun semakin tidak jelas. "Kita boleh bangga kehidupan pers tanah air makin bebas namun kita juga harus cemas karena kebebasan pers itu semakin tidak jelas”.
Kebebasan pers saat ini dinilai hanya bermanfaat bagi pemilik dan pihak yang memiliki agenda politik.
"Sementara publik, hanya dimanfaatkan pers sebagai khalayak pasif yang tidak memiliki akses menentukan ke arah mana kebebasan pers itu hendak dituju," ujarnya.
Menurut Iswandi, situasi ini terjadi karena pers dinilai gagal mengatur dirinya sendiri terhadap kebebasan yang diperolehnya.
"Bagaimana pers bisa mengatur dirinya sendiri jika pemilik media punya agenda dan ambisi politik pribadi? Awak pers lebih takut pada pemilik dari pada publik,"ungkapnya.
Kondisi ini bisa lebih parah dari era pers otoriter. "Pada masa Orde Baru, memang ada tekanan dari negara tapi tekanan tersebut jelas untuk mengamankan kebijakan nasional. Saat ini, pers seolah bebas tanpa tekanan padahal tunduk pada pemilik. Pers kehilangan daya kritisnya saat pemilik atau elit yang dekat dengan pemilik tersangkut kasus korupsi atau tindak kriminal lainnya."
Dalam kondisi tidak jelas seperti ini menurut mantan anggota KPI Pusat tersebut, publik harus mengorganisasi dan konsolidasi.
"Sosmed bisa menjadi alternatif untuk mengimbangi media mainstream yang tidak jelas itu," katanya.