Selasa, 31 Juli 2018

ORANG BUTA KINI BISA MELIHAT..!!!


Perkembangan teknologi sekarang memang sudah tidak ada habisnya, bahkan jaman sekarang teknologi sudah dapat berkembang sangat pesat disetiap detik hidup yang kita jalani.

Awalnya teknologi berkembang sebagai sebuah alat bantu manusia. Dan kini telah berkembang menjadi sebuah kekuatan yang dapat mengubah perilaku dan gaya hidup semua manusia. Tidak bisa dipungkiri semua sistem yang ada didunia ini sudah bergantung pada teknologi.

Dan baru-baru ini di dunia kedokteran muncul sebuah teknologi baru yang menggemparkan dunia, dimana perangkat ini dapat menjawab masalah yang sering dialami oleh tunanetra yang tidak diberkahi penglihatan dalam hidupnya.

Salah satu tim inovator bernama eSight yang memamerkan perangkat tersebut di ajang CES 2018 kemarin, mereka memamerkan ujung tombak dari kampanye 'Make Blindness History by 2020' (Menghapuskan kebutaan di tahun 2020). Namanya adalah kacamata eSight 3. eSight adalah wearable device yang memungkinkan penderita gangguan visual untuk bisa melihat normal kembali. eSight merupakan kacamata berpenampilan seperti versi kecil PlayStation VR. Seperti smart glasses atau head-mounted display, ia didesain untuk dikenakan di kepala.

Perangkat eSight 3 berkeja menggunakan kamera yang menampilkan resolusi tinggi dan prisma optik di headset untuk memulihkan penglihatan mereka dengan low vision. Kamera berkecepatan tinggi di luar bertugas ‘melihat’ dunia di sekitar sang pengguna, lalu gambar tersebut diproyeksikan ke sepasang layar OLED. Kacamata pintar ini dibekali software khusus yang berfungsi untuk mempertajam dan membersihkan gambar-gambar.

Apapun, siapapun dapat memakai eSight. Dr Brian Mech, CEO eSight menjelaskan bahwa teknologi ini memiliki peluang bekerja sukses yang lebih baik, 50 persen bekerja dengan semua kondisi.



“Ada banyak orang di luar sana seperti saya yang akan melalui pengalaman yang sama merasa sendiri, merasa terisolasi, dan tidak menjadi bagian dari dunia visual,” katanya. “Mampu berhubungan dengan orang dan keluarga Anda, dan keluar dari rumah Anda dan menjadi bagian dari dunia lagi adalah sesuatu yang saya akan berpikir semua orang ingin.”, kata Felix salah satu pemakai eSight ini

Munculnya perangkat ini bisa menjadi solusi bagi para tunanetra untuk melihat dunia tanpa  terkena biaya operasi yang mahal. Kendala terbesar bagi tim eSight buat menghilangkan kebutaan adalah ongkos produksi yang sangat mahal. Untuk memiliki satu unit kacamata pintar ini, Anda harus mengeluarkan uang sebesar US$ 10 ribu atau sekitar 150 juta rupiah. 

Itulah alasannya tim eSight melangsungkan kampanye "Make Blindness History by 2020". Karena mereka berharap untuk mendapatkan investor yang lebih banyak agar dimasa yang akan datang produk ini bisa diproduksi secara massal dengan harga yang lebih murah

Walaupun saat ini perangkat ini masih belum banyak merubah keadaan mereka bagi kalangan yang tidak mampu karena harganya yang sangat mahal, TAPI setidaknya ini dapat membantu beberapa dari mereka yang mengalami kebutaan di dunia ini.

Inovasi baru memang selalu mahal seperti saat munculnya handphone, tapi setidaknya dalam 5-10 tahun yang akan mendatang. Teknologi ini akan di produksi secara massal dengan harga yang lebih murah dimasa yang akan datang
Share:

Jumat, 27 Juli 2018

Pers Era orde baru digambarkan sebagai “Mahkota Berkarat”

Dari masa keterpurukan di era Orde Lama dengan sistem Demokrasi Terpimpin rezim Soekarno, Orde Baru diharapkan masyarakat dari berbagai elemen membawa perubahan yang lebih baik. Sayangnya, ternyata hampir nihil yang namanya kebebasan pers.

Memang pada awalnya masa Orde Baru jadi zaman pemulihan kondisi. Kondisi pasca-Orde Lama dan chaos akibat Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).

Soeharto yang mengambil alih peran strategis pemerintahan mulai mengendalikan media massa dengan mengeluarkan berbagai undang-undang dan ketentuan. Hal ini ditandai dengan ditutupnya 46 surat kabar pada 1 oktober 1965.

Pada Undang-undang tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers No.11 tahun 1966 berisi tentang kebebasan pers yang menjanjikan kerana pers dijamin sebagai hak-hak dasar warga negara, dan penerbitan tidak memerlukan surat izin apapu, TETAPI pada kenyataanya  setiap penerbitan surat kabar harus memiliki Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC), tanpa kedua izin tersebut, surat kabar tidak dapat dicetak.

Di era ini, masyarakat Indonesia di iming-imingi kebebasan dalam menyampaikan berbagai pendapatnya mengenai kepemimpinan Soeharto. Namun ternyata, apa yang di janjikan oleh pemerintahan orde baru tersebut hanyalah bualan belaka. Pers sebagai ujung tombak lidah masyarakat dibungkam dengan berbagai tekanan. Pers sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengkritik dan membuat berita-berita negatif mengenai kepemimpinan saat itu. Bahkan jika ada yang membangkang, tidak segan-segan pemerintah akan mencabut izin penerbitannya.

Itu artinya di masa orde baru ini merupakan fakta nyata jika pers di Indonesia pernah di bungkam oleh pemerintah. Pers benar-benar di kontrol oleh pemerintah. Bahkan tidak tanggung-tanggung, pemerintah membuat sebuah departemen khusus pengontrolan pers dengan nama Departemen Penerangan, dengan adanya departemen ini pers diwajibkan untuk membuat berita-berita positif tentang pemerintah orde baru. Jika tidak, maka bisa dipastikan media tersebut akan ditutup (dibrendel).

Kondisi pers pada awal orde baru memang Bebas namum bertanggung jawab dalam artian pers bebas membertiakan apa saja namung bayang-bayang brendel masih mengintai. Jurnalis pun bertanya “Bebas melakukan apa? Bertanggung jawab pada siapa”. Kebijakan Soeharto terhadap pers di awal periode ini bisa dianggap sangat bebas, mirip dengan masa liberal. Di era ini pers bebas mengkritik pemerintahan orde baru, terutama masalah korupsi.

PEMBREDELAN SEMAKIN AKTIF SETELAH KEJADIAN “MALARI”

Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya.

Pers dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut terhadap kebebasan pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh, sejauh keuntungan ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejak pertengahan 1980-an, pers Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan era pers industri. Dalam pers industri, bisnis informasi ternyata menjanjikan keuntungan besar, dan tingkat kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik. Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin menumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers Indonesia—didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita.
Share:

Sabtu, 21 Juli 2018

Teori yang paling cocok untuk mengendalikan persepsi (sudut pandang) seseorang




AGENDA SETTING

Teori ini menyatakan dengan jelas bahwa media massa memiliki kekuatan dalam mempengaruhi dan membentuk persepsi masyarakat. Di jelaskan bahwa media massa memang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi bahkan membentuk pola pikir audience yang terkena terpaan informasinya.

Media bukan mempengaruhi pikiran masyarakat dengan memberitahu apa yang mereka pikirkan dan apa saja ide atau nilai yang mereka miliki, namun memberi tahu hal dan isu apa yang harus dipikirkan. Masyarakat luas cenderung menilai bahwa apa-apa yang disampaikan melalui media massa adalah hal yang memang layak untuk dijadikan isu bersama dan menjadi cakupan ranah publik.

Dengan begitu, masyarakat pun menilai apa yang dianggap penting oleh media adalah hal yang penting juga dan memang harus dipikirkan atau minimal mempengaruhi persepsi mereka terhadap hal tersebut.

Meski begitu, menurut McCombs dan Shaw tidak menutup pandangan yang menghargai dan meyakini bahwa audience juga memiliki kekuatannya sendiri, yaitu dengan hipotesis selective exposure. Hipotesis ini menjelaskan bahwa manusia cenderung hanya akan melihat dan membaca informasi serta berita yang sejalan dan tidak mengancam atau bertentangan dengan kepercayaan yang selama ini mereka miliki dan bangun. Hal ini menunjukkan kekuatan dan kebebasan manusia dalam memilih, menyortir, dan menerima pesan yang disampaikan oleh media massa.

Contoh yang paling nyata adalah tayangan berita di televisi. Ketika marak kasus penjambretan dimana-mana, masyarakat menerima informasi tersebut sebagai gambaran dari realitas yang terjadi sesungguhnya meski sebenarnya mereka tidak mengalaminya secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa media mempengaruhi pola pikir manusia, termasuk terhadap apa yang dianggap penting dan tidak. Informasi yang diangkat dalam media membuat manusia menganggap bahwa itu adalah hal yang penting dan layak untuk diperhatikan. Pengaruh terpaan media ini membuat munculnya opini yang beredar dalam masyarakat dan membentuk opini umum.�

TEORI KULTIVASI

Teori ini melihat bahwa apa yang ditayangkan televisi bertanggung jawab atas apa yang kita persepsikan. Apa yang diatayangkan televisi membentuk persepsi kita apa yang dilihat di dunia nyata.

Menurut Gerbner, “Dunia televisi bukan jendela atau refleksi dunia tetapi dunia itu sendiri”. Bahwa menonton televisi itu secara independen akan berkontribusi dalam membentuk konsepsi penontonnya tentang realitas sosial. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa mereka yang lebih banyak “hidup dalam dunia televisi” akan memiliki gambaran tentang “kehidupan nyata” sebagaimana yang dilihatnya dalam televisi itu

Dalam teori kultivasi ini mengenal konsep cultivation differential, yaitu perbedaan dalam pola tanggapan antara pecandu (heavy viewers) dan penonton sekadarnya (light viewers). Konsep ini digunakan untuk melihat seberapa jauh tingkat pengaruh televisi dalam membentuk sikap khalayaknya. Misalnya, dalam acara televisi, orang tua kerap digambarkan secara negatif, dan pecandu televisi, utamanya yang lebih muda, cenderung memiliki pandangan negatif terhadap kalangan tua itu ketimbang penonton sekadarnya. Kebanyakan pecandu ternyata tidak menyadari akan berbagai pengaruh menonton televisi terhadap perilaku dan nilai yang menimpa diri mereka.

Keadaan yang demikian bisa berakibat pada kepercayaan yang berlebihan terhadap, misalnya, jumlah kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat, stereotipisasi ras, kepercayaan tentang siapa yang lebih dikorbankan dalam suatu tindak kekerasan, kepercayaan tentang apa yang seharusnya dilakukan dengan identifikasi terhadap umur, gender, atau etnis, dan berbagai kepercayaan lain yang direfleksikan melalui acara televisi. Analisis kultivasi mencoba mengukur seberapa besar televisi mempengaruhi persepsi khalayak terhadap realitas – seberapa jauh program televisi menumbuhkan pemahaman kita tentang dunia.

Televisi dianggap oleh Gerbner telah mendominasi ‘lingkungan simbolik’. bahwa televisi bukan lagi sekadar jendela atau refleksi atas dunia nyata, namun televisi telah menjadi dunia itu sendiri.
Share:

Jumat, 20 Juli 2018

Manfaat dan mudharat teknologi komunikasi

Dalam menggunakan teknologi komunikasi kita tidak hanya akan berurusan dengan hardware yang digunakan tetapi juga teknologi software sebagai "pesan". Pada era digital ini sudah tidak bisa di pungkiri lagi kita sangat membutuhkan teknologi yang dapat membantu kita untuk berkomunikasi.

Tetapi apakah teknologi komunikasi sekarang hanya sebatas untuk berkomunikasi semata? mungkin pada era orde baru iya, tetapi pada era digital ini hampir semua masyarakat telah mengenal smartphone. Dan apa saja yang bisa dilakukan smartphone jelas lebih banyak dari handphone, di era digital ini semua sangat terbantu dengan smartphone dari pencarian informasi, bisnis. industri, jasa, transportasi, berbelanja, transaksi, melakukan booking, dan masih banyak lagi. Yang mungkin seiring berkembangnya jaman akan muncul inovasi terbaru lagi.

Penggunaan teknologi komunikasi memang memiliki banyak manfaat, tetapi disisi lain juga dapat merugikan. Siapa yang dirugikan? siapa yang salah? teknologi? ataukah pribadi masing-masing. .


Dalam pembahasan kali ini,  ada teori yang dinamakan "The Umbrella Perspective" yang dikemukakan oleh August E. Grant.


August E. Grant adalah seorang professor dari University of South Caroline, beliau adalah pencetus pandangan teknologi komunikasi terhadap masyarakat dalam bukunya berjudul Introduction to Communication Technologies.

Level 1: hardware & software (Pemilihan Teknologi)

Hardware menjadi bagian yang paling nyata di dalam sistem teknologi dan komunikasi kelihatannya memang berkembang seiring dengan perkembangan perangkat kerasnya. Meski demikian, memahami teknologi komunikasi memerlukan lebih dari sekedar belajar tentang hardware. Ada yang lebih penting yaitu memahami message komunikasi melalui sistem teknologi yang berkembang. Yang
dimaksud “messages”  di sini lebih pada “software”.

Pada bagian perangkat lunak tidak hanya berupa aplikasinya saja, melainkan yang dimaksud disini adalah pesan yang juga ada didalamnya. Internet merupakan salah satu perangkat lunak yang sangat dekat dengan masyarakat saat ini, karenanya kita tidak boleh melihatnya secara penuh hanya sebagai perangkat lunak, tetapi kita juga harus melihat konten/ isi pesan dari apa yang kita temukan di internet.

Misalnya dalam memakai televisi kabel berlangganan, individu akan mililah dan memutuskan yang mana saja yang akan dia tonton dan komsumsi. Apakah konten yang di dapatkan baik atau buruk. Itu tegantung apa yang di konsumsi, karena dalam penggunaan TV kabel kita dapat melihat channel-channel internasional yang mungkin isi kontenya tidak memenuhi kriteria "Lembaga sensor televisi" di indonesia. Seperti kekerasan, pornografi, hal yang tidak etis dan sebagainya. tetapi disisi lain juga memiliki manfaat dalam menerima informasi atau berita yang tidak bisa kita temukan di channel nasional.

LEVEL 2: Organizational Infrastructure (Peraturan)

Membuat batas yang wajar, dimana pada level ini semuanya ditangani oleh pemerintah. Dalam menyediakan kebijakan dan peraturan. Menentukan standar, apa saja yang layak digunakan ileh masyarakat.

Dalam hal ini tingkatan yang kedua merupakan lembaga yang terlbiat dalam produksi dan distribusi teknologi. Misalnya dalam suatu pengembangan teknologi smart phone yang di produksi dan didistribusikan oleh instansi-instansi tertentu.

Contoh kenapa Telegram bisa diblokir di indonesia? Ternyata setelah maraknya kasus pengeboman di sarinah pada tahun 2016 lalu, ternyata aplikasi sering digunakan oleh teroris karena aplikasi ini memiliki fitur penghacur chat secara otomatis, dimana semua percakapan yang dilakukan akan terhapus secara otomatis bahkan hingga ke akar-akarnya (server) sehingga ini menyulitkan pemerintah untuk melacak mereka, dan juga kantor pusatnya pun tidak ada di indonesia.

Jadi karena itulah pemerintah membuat peraturan dan kebijakan dalam masuknya teknologi ke suatu negara. Apakah teknologi yang digunakan masyarakat bisa dimanfaatkan atau malah menjadi petaka di tengah-tengah masyarakat.

LEVEL 3: SOSIAL SISTEM (NILAI NORMA)

Pada level ini. Sang individu sendirilah yang menentukan batas wajar dalam penggunaan teknologi agar tidak kebablasan. Beberapa orang akan mengikuti atau membuat peraturan yang ada. Karena jika tidak ada peraturan atau terlalu bebaas maka manfaat teknologi yang dipakai akan kebablasan.

Misalkan dalam lingkungan keluarga, seorang anak diberikan smartphone karena tugas-tugas yang diberikan oleh sang guru harus menggunakan internet.  Tetapi apakah itu bagus diberikan kepada anak-anak ato tidak? Selang beberapa hari setelah anak tersebut diberikan ponsel, sang anak sudah mulai kecanduan bermain game dan bahkan terus bermain smartphone hingga tengah malam. Alhasil sang anak sering terlambat masuk sekolah dan tidak fokus pada pelajaran yang diberikan.

Jadi disini siapakah yang salah? Si anak atau orang tuanya ? Menurut saya pribadi sih dua-duanya salah. Karena seharusnya anak tersebut diberikan batas kapan saja harus diberikan bermain smartphone. Misalkan hanyak boleh digunakan saat ada PR/Tugas dari sekolah, dan hanya boleh dizinkan bermain smartphone pada hari libur saja.

LEVEL DASAR: INDIVIDUAL USER

Sedangkan pada gagangnya adalah individu dalam hal ini berperan sebagai seorang yang memilih atau memgang, serta menunjukan hubungan yang terdapat didalamnya.Jadi, dalam hal ini kita semua sebagai individu mampu memilih sendiri media hardware maupun software yang akan kita gunakan. Maka dari itu marilah kita menjadi pengguna yang bijaksana.
Share:

Kamis, 19 Juli 2018

Perkembangan pers dan media dari era kolonial hingga sekarang

Pengiriman dan penyebaran informasi dalam bentuk jurnal awalnya digunakan oleh VOC untuk menyalurkan dan atau mendapat berita, baik dari Eropa maupun dari pos-pos perdagangan Belanda yang tersebar di Nusantara yang menurut Von Veber telah berlangsung sejak tahun 1615.Hal ini dipertegas oleh Muhtar Lubis dengan mengatakan bahwa pada tahun 1615, J.P. Coen menerbitkan Memorie de Nouvelles, sebuah jurnal cetak yang pertama di Indonesia, memuat berita dan informasi tentang VOC.

Sementara surat kabar pertama yang terbit di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles tahun 1744 oleh J.E. Jordens.Perancis dan Inggris yang pernah menyelingi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, turut pula menerbitkan surat kabar

Perancis di bawah Daendels menerbitkan Bataviasche Zoloniale Courant. Sementara pada masa kekuasaan Inggris menerbitkan surat kabar dengan nama The Java Government Gazette.

Setelah kekuasaan Inggris berakhir (1816) di Indonesia, maka surat kabar yang terbit menjadi organ resmi pemerintah Belanda adalah Bataviasche Courant yang kemudian digantikan olehJavasche Courant.Sampai dengan terbitnya surat kabar ini ada kenampakan bahwa usaha penerbitan masih didominasi oleh pemerintah yang berkuasa. Isinya pun dapat diduga, yaitu hanya memuat berita mengenai kegiatan pemerintah.

Memasuki pertengahan abad ke-19, sudah semakin banyak surat kabar terbit di Indonesia. Bahkan kaum Indo-Belanda sudah mengusahakan penerbitan yang diperuntukkan buat kaum pribumi dan peranakan Tionghoa. Sehingga pada masyarakat kolonial sudah dikenal adanya pers yang berbahasa Melayu dan bahasa daerah.

  1. Surat kabar pertama berbahasa daerah adalah Bromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1855.
  2. dilanjutnya surat kabar pertama berbahasa Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe yang terbit di Surabaya pada tahun 1856.
Di samping itu, dikenal pula surat kabar yang berbahasa Tionghoa yang menggunakan bahasa campuran antara bahasa Melayu rendahan dengan dialek Hokkian.Seiring dengan pemberlakuan politik kolonial liberal atau dikenal sebagai politik pintu terbuka (open door policy) tahun 1970, maka dinamika persuratkabaran di Indonesia juga semakin kompleks. Kaum swasta asing Eropa (pengusaha-pengusaha penanam modal di Indonesia) semakin banyak menerbitkan surat kabar. Dalam dekade ini pula (menjelang berakhirnya abad ke-19), terdapat kemajuan di bidang jurnalistik. Kemajuan yang dimaksud adalah semakin banyaknya orang-orang pribumi dan orang-orang peranakan Tionghoa yang terlibat dalam penerbitan pers. Dengan demikian sudah lahir wartawan-wartawan pribumi (Indonesia) yang pertama. Kedudukan orang-orang ini kelak menjadi sangat penting terhadap kelahiran pers nasional.

Ciri-ciri pers pada masa kolonial
  • Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
  •  Kontrol yang Keras Terhadap Pers
  • Penekanan Terhadap Pers Indonesia
  • Bersifat fasis memanfaatkan  instrumen untuk menegakan kekusaan pemerintahannya

ERA Revolusi (1945-1949)

Reiode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

  1. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda), antara lain:  Warta Indonesia di Jakarta, Persatuan di Bandung, Sulung Rakya di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, dan  Mustika di Medan
  2. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik. yang muncul pada masa itu, antara lain: harian Merdeka, Sumber, Pemandangan, Kedaulatan Rakyat, Nasional dan Pedoman.
Pada masa revolusi fisik inilah Persatuan Wartawan Indonesia (PMI) dan Serikat Pengusaha Surat Kabar (SPS) lahir. Kedua organisasi ini mempunyai  kedudukan penting dalam sejarah pers Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia untuk pertama kali mengeluarkan peraturan yang membatasi kemerdekaan pers pada tahun 1948. Menurut Smith, “dalam kegembiraan kemerdekaan ini, pers dan pemerintahan bekerja bergandeng tangan erat sekali dalam seratus hari pertama masa merdeka itu”.

Pemerintahan memerlihatkan itikad baik terhadap pers dan berusaha membantunya dengan mengimpor dan mensubsidi kertas koran dan dengan memberikan pinjaman uang. Pada awalnya semua berjalan lancar, namun saat pers mulia bertindak dengan menyerang pemerintahan dan tokoh-tokoh masyarakat sampai pada presiden sendiri, tampaknya pemerintah yang baru ketika itu belum dapat menerima kritikan yang pedas.

Sesuai dengan fungsi, naluri, tradisinya, pers harus menjadi penjaga kepentingan publik. Pers telah menyampaikan pesan-pesan yang diperlukan oleh yang terlampau berat, sehingga pemerintah mulai memukul balik pers. Konflik keduanya berkembang menjadi pertentangan permanen dan pers dipaksa tunduk di bawah kekuasaan pemerintah.

Untuk menangani masalah-masalah pers, pemerintahan membentuk Dewan Pers pada tanggal 17 Maret 1950. Dewan pers tersebut terdiri dari orang-orang persuratkabaran. cendikiawan, dan pejabat-pejabat pemerintahan, dengan tugas:

  1. Penggantian undang-undang pers kolonial,
  2. Pemberian dasar sosial-ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia (artinya fasilitas-fasilitas kredit dan mungkin juga bentuan pemerintahan)
  3. Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia,
  4.  Pengaturan yang memadai tantang kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan Indonesia (artinya, tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum, etika jurnalistik, dan lain-lain).
Ciri-ciri pers pada masa revolusi
  • Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik
  • Harus Menjaga Kepentingan Publik
  • Pembatasan Pers

ERA DEMOKRASI LIBERAL (1949 – 1959)

Masa Demokrasi Liberal adalah masa di antara tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu Indonesia menganut system parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan pers. Pers nasional pada umumnya mewakili aliran politik yang saling berbeda. Fungsi pers dalam masa pergerakan dan revolusi berubah menjadi pers sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.

Awal pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi terhadap pers nasional. Demokrasi liberal berakhir ketika Orde Lama dimulai. Era demokrasi liberal adalah sejak Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden 1959.

Tindakan pembatasan pers terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan, Ruslan Abdulgani, antara lain….”khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dilakukan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing….”

Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.

Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.

Ciri-Ciiri pers masa demokrasi liberal
  • Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak
  • Pembatasan Terhadap Pers
  • Adanya Tindakan Antipers

ERA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1966)

Masa demokrasi terpimpin, partai politik maupun organisasi politik tidak bisa lepas dari pers. Partai politik telah menggunakan pers dalam mendukung maupun menjadi oposisi dari pemerintahan yang berkuasa. Sistem kekuasaan masa demokrasi terpimpin juga mempengaruhi fungsi pers, yang lebih banyak bersifat sebagai corong kekuasaan pemerintah yang berkuasa, sehingga fungsi pers sebagai kontrol sosial tidak nampak bahkan hilang.

Pers memiliki hubungan yang sangat erat dengan organisasi politik maupun partai politik dari pertamakalinya pers dikelola oleh para jurnalis Indonesia. Hubungan ini berkaitan dengan fungsi pers sebagai penyebar informasi dan alat propaganda yang efektif bagi partai politik dalam mengkampanyekan program serta tujuan partai tersebut. Masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin pers sangat berperan bagi kelangsungan kampanye partai politik, hampir setiap partai politik memiliki surat kabar baik yang terbit harian maupun mingguan serta bulanan. Surat kabar ini dikelola sama baiknya dengan surat kabar umum yang tidak berafiliasi dengan partai politik dan bahkan menjadi alat pemasukan dana bagi partai politik. Partai-partai politik yang memiliki surat kabar seperti PKI, Masyumi, PNI, NU dan lain sebagainya sangat gencar melakukan kampanye melalui media massa.

Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin
  • Tidak Adanya Kebebasan Pers
  • Adanya Ketegasan Terhadap Pers
  • Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers

ERA ORDE BARU (1966 - 21 Mei 1998)

Pada masa kepemimpinan Orde Baru, kebebasan pers sangatlah terbatas. Tak terhitung banyaknya organisasi pers yang mengalami pembredelan karena terlalu keras dalam mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Hal ini terjadi karena pada masa Orde Baru, stabilitas politik nasional sangatlah penting guna mendukung lancarnya proses pembangunan nasional yang telah dirumuskan dan ditetapkan dalam GBHN.

Dapat dikatakan bahwa pers pada masa Orde Baru merupakan lembaga sosial dan bukan lembaga pemerintah atau sebagai corong pemerintah. Hal ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang menyatakan bahwa : “Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat konstruktif. Dalam definisi tersebut terlihat pula bahwa pers di Indonesia juga harus memiliki idealisme yang ditunjukkan dengan pernyataan bahwa pers Indonesia merupakan alat perjuangan nasional, bukan sekedar menjual berita untuk mencari keuntungan finansial

Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.

Pemerintah Orde Baru memastikan bahwa semua media komunikasi, termasuk pers menjadi pro pemerintah, karena menganggap kebebasan pers tanpa kontrol pemerintah dapat menyebabkan gangguan stabilitas negara, kemananan dan kepentingan umum sehingga harus terus menerus dikontrol secara ketat. Sehingga dapat dikatakan selama Orde Baru, pers di Indonesia terus menerus menerima sikap represif pemerintah. Akibat kontrol pemerintah yang bersifat represif dalam pers, pada masa ini tidak ada pers yang bersikap independen dan berani mengkritisi pemerintah. Jika ada pers yang berani mengkritisai pemerintah atau menentang kebijakan pemerintah, maka konsekuensi yang didapatkan mulai dari pemberhentian pasokan kertas koran hingga penghilangan nyawa wartawan.

“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.

Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang anti rezim Soeharto.

Ciri-ciri pers pada masa orde baru
  • Kebebasan Terhadap Pers
  • Pers Masa itu Sangat Buram
  • Berkembangnya Dunia Pers

ERA REFORMASI (21 Mei 1998-sekarang)

Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu.

Ketika era reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi. Berbagai kendala yang membuat pers nasional "terpasung", dilepaskan. SIUUP (surat izin usaha penerbitan pers) yang berlaku di Era Orde baru tidak diperlukan lagi, siapa pun dan kapan pun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit. Dan juga  Undang-undang No. 40 tahun 1999 plus Kode Etik Jurnalistik (KEJ), memberi kebebasan seluasnya-luasnya kepada para penulis untuk ber­krea­si melalui coretan pena wartawan, meskipun kritis, tapi tetap da­lam ko­ridor hukum dan kode etik yang telah ada. Pers dalam era reformasi tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer. Dengan UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar demokrasi.

Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan.

Kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.

Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.

Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa, khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa. Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.

Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).

Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan publik terhadap pemimpinnya dapat terwujud.

FENOMENA PERS YANG TERJADI SAAT INI

Pers Semakin Bebas tapi Semakin Tidak Jelas

Suasana kehidupan pers di Indonesia saat ini dinilai semakin bebas, namun semakin tidak jelas. "Kita boleh bangga kehidupan pers tanah air makin bebas namun kita juga harus cemas karena kebebasan pers itu semakin tidak jelas”.

Kebebasan pers saat ini dinilai hanya bermanfaat bagi pemilik dan pihak yang memiliki agenda politik.

"Sementara publik, hanya dimanfaatkan pers sebagai khalayak pasif yang tidak memiliki akses menentukan ke arah mana kebebasan pers itu hendak dituju," ujarnya.

Menurut Iswandi, situasi ini terjadi karena pers dinilai gagal mengatur dirinya sendiri terhadap kebebasan yang diperolehnya.

"Bagaimana pers bisa mengatur dirinya sendiri jika pemilik media punya agenda dan ambisi politik pribadi? Awak pers lebih takut pada pemilik dari pada publik,"ungkapnya.

Kondisi ini bisa lebih parah dari era pers otoriter. "Pada masa Orde Baru, memang ada tekanan dari negara tapi tekanan tersebut jelas untuk mengamankan kebijakan nasional. Saat ini, pers seolah bebas tanpa tekanan padahal tunduk pada pemilik. Pers kehilangan daya kritisnya saat pemilik atau elit yang dekat dengan pemilik tersangkut kasus korupsi atau tindak kriminal lainnya."

Dalam kondisi tidak jelas seperti ini menurut mantan anggota KPI Pusat tersebut, publik harus mengorganisasi dan konsolidasi.

"Sosmed bisa menjadi alternatif untuk mengimbangi media mainstream yang tidak jelas itu," katanya.
Share:

Rabu, 18 Juli 2018

TEKNOLOGI KOMUNIKASI DARI MASA KE MASA

Teknologi komunikasi dari masa ke masa

PRA-SEJARAH

  • Memori. Era dimana manusia masih berkomunikasi secara non verbal
  • Pictorial. Era Pralanguage atau vocal dimulai
  • Ideographic. Era dimana manusia mulai menggambar
  • Phonetic. Era dimana manusia sudah mulai menggunakan abjad huruf

Writing Era

Orang-oang Sumerians menggunakan tanah liat untuk membuat huruf. kemudian pada 1041 SM china menemukan dengan tipe mencetakan huruf dalam tablet tanah liat, dilanjutkan pada 1241 korea menemukan model dengan tipe mencetakan huruf menggunakan logam.

Printing Era

Pada saat itu Gunternberg menemukan mesin cetak. Konon katanya Gustenberg menemukan mesin press ini untuk mencetak kitab injil. Akan tetapi lama kelamaan mesin cetak itu dipakai. Pada tahun 1833, ketika Bunyamin Day meluncurkan surat kabar New York Sun, yang digunakan secara besar-besaran (masal) disambung pada tahun 1839 Daguerre melakukan praktek photografinya untuk digunakan dalam koran.

Telecommunication Era

Rogers mencatat era ini dengan mengambil moment pada saat Samuel Morse pada tanggal 24 Mei 1844 menemukan suatu cara menyampaikan pesan melalui kabel elektronika, belakangan dikenal dengan istilah telegraph.
Alexander G. Bell telah meneliti gagasan bagaimana mengirimkan dan mentransfer suara menjadi sinyal. Tahun 1874 saat dia mengerjakan telegraph, dia mengembangkan gagasan dasar yang baru yaitu telephone, yang menjadi tanda dimulainya era ini. Kehadirannya memicu para ahli untuk mengembangkan teknologi yang lebih baru, antara lain radio dan televisi.

Era Interactive

Rogers mencatat era ini berawal dari ditemukannya ENIAC, sebutan untuk Mainframe komputer yang memiliki lebih dari 18.000 tabung lampu vacuum, di tahun 1946 oleh sekelompok ilmuwan di Universitas Pensylvania.  Sepertiga abad kemudian penemuan ini dikembangkan lebih sederahana menghasilkan perangkat yang lebih kecil, lebih canggih dan lebih fleksibel dalam penggunaannya.
Share:

SOSIAL MEDIA: Apa keuntungan menggunakan sosial media?

SOCIAL MEDIA

Sosial media adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online.

Sosmed ini rata-rata cara kerjanya adalah dalam bentuk pengiriman pesan dari orang 1 ke orang yang lain dan tanpa di batasi ruang dan waktu, dengan  kata lain saling berinterkasi dan bersosialisasi secara online.

Fenomena Sosial Media

Sebagai manusia pasti membutuhkan informasi-informasi penting yang terjadi di Negara Indonesia, dengan adanya sosmed ini pasti orang-orang akan melakukan saling sharing informasi-informasi penting, jadi tidak akan kurang update.

Orang-orang menggunakan media sosial untuk melampiaskan segalanya mulai dari layanan konsumen hingga politik, namun kelemahannya adalah seringkali unggahan kita menyerupai stres yang tak ada habisnya.

What’s Social Media Good For ?

Ambient Intimacy (keakraban sekitar)

Twitter sering menanyakan  “Apa yang kau lakukan?”  dan kadang-kadang orang selalu menjawab pertanyaan tersebut, seperti makan siang, sedang jogging, atau membersihkan bak mandi, orang-orang bahkan sering merlaporkan kegiatan mereka setiap hari, memesan burger, duduk di genteng, atau naik bus.

Meskipun update status mereka yang seperti itu terdengar membosankan, orang-orang di twitter mulai menyadari apa yang saja dilakukan oleh teman, atau keluarga di sekitar kita yang menciptakan kesadaran dalam lingkungan sekitar

SHARING NEWS AND COMMENTARY (BERBAGI BERITA DAN KOMENTAR)

Karena layanan interaksi pengguna yang diberikan twitter, orang-orang semakin sering menggunakannya untuk berbicara tentang apa yang mereka tonton, dengarkan, dan pikirkan. Sehingga Twitter menjadi pemain kunci dalam ekonomi perhatian, mendistribusikan ide dan komentar tentang apa yang menarik perhatian orang-orang.

Breaking news and shared experiences (berita terkini dan berbagi pengalaman)

Twitter merupakan surat kabar waktu nyata didunia. Pada bulan januari 2009, ada kecelakan pesawat US Airways di sungai Hudson, secara kebetulan penumpang feri yang  lewat didekatnya telah mentwitter gambar dan komentar tersebut yang langsung menjadi topik hangat di twitter hingga para wartawan langsung mendatangi lokasi tersebut.

mind reading (membaca pikiran)

Twitter menjadi alat pembaca pikiran yang luar biasa, yang memungkinkan anda melihat bukan hanya apa yang dipikirkan individu, tetapi juga kelompok. Mulai dari mengungkapkan perasaan orang lain, isu hangat terbaru, hingga acara favorit anda

BUSNIESS CONVERSATION (PERCAKAPAN BISNIS)

Akhirnya, Twitter muncul sebagai saluran bisnis utama, yang memungkinkan perusahaan berinteraksi dengan pelanggan, mitra, dan konstituen lainnya secara langsung yang bersifat pribadi dan publik.

Bisnis memantau apa yang dipikirkan orang tentang produk mereka, menanggapi perimntaan layanan pelanggan, melakukan percakapan dengan pemangku kepentingan, dan mengahsilkan uang melalui bebagai macam iklan kreatif.
Share: